“Tidak ada dari kami yang dari awal berencana menjadi artivist atau aktivis”
jelas Pingki Ayako di sela-sela persiapannya menuju Festival Lampion Tambak Bayan tahun 2023.
Tidak ada dari mereka yang tergabung dalam Institut Seni Tambak Bayan yang hendak menjadi artivist atau aktivis, sama halnya dengan warga Tambak Bayan. Tidak ada dalam bayangan warga Tambak Bayan bahwa suatu ketika ketenangan hidup mereka akan terusik dengan bayang-bayang penggusuran. Membuat warga Tambak Bayan akhirnya berjuang dengan segenap materi dan kemampuan yang dimiliki untuk mempertahankan ruang hidupnya.
Petak-petak tanah berukuran 4X6 yang mereka tinggali dari generasi ke generasi sejak 1930-an tersebut menuai sengketa. Kompleks yang dibangun oleh seorang saudagar Belanda tahun 1800-an itu telah melalui proses panjang alih kepemilikan berdasarkan administrasi. Sebuah ingatan panjang tentang militer yang merampas tanah dan membuat surat kepemilikan menjadi ambigu dari satu pihak ke pihak lainnya. Namun, komunitas Tionghoa lah yang sejak awal mendiami tanah itu semenjak diberikan hak oleh sang empunya bangunan.
Mengusut tentang status dari tanah Tambak Bayan adalah sama dengan menyusun memori bersejarah. Dikutip dari Project Multatuli menyebutkan bahwa persil-persil di Tambak Bayan dan Kepatihan yang jadi objek sengketa dengan pihak hotel merupakan “tanah negara bekas eigendom verponding” yang kemudian dihuni warga secara turun menurun. Dalam reportase yang ditulis oleh Rangga Prasetya Aji Widodo itu menyebutkan bahwa eigendom verponding di Kampung Pecinan Tambak Bayan merujuk bukti kepemilikan tanah yang dibuat pada era Hindia Belanda. Lebih lanjut lagi, Ia menulis bahwa status verponding membuat tanah rentan disengketakan, seperti yang terjadi di Tambak Bayan. Namun, bila tanah berstatus verponding tidak bisa dibuktikan kepemilikannya, otomatis menjadi tanah negara.
Hampir dua dekade warga di Kampung Tambak Bayan berjuang mempertahankan ruang hidupnya. Hal itu terjadi setelah pemilik Hotel V3 yang masih berlokasi di kawasan yang sama hendak merelokasi warga. Ia datang dengan klaim kepemilikan sertifikat hak guna bangunan di Tambak Bayan dan hendak menggantikan hunian dengan bangunan-bangunan baru. Itu artinya, memisahkan warga Tambak Bayan dari memori akan asal-usul dan leluhurnya. Terlebih, relokasi yang dijanjikan sangat merugikan pihak warga Tambak Bayan.
Jalur hukum dengan mengumpulkan berkas legal dan meminta bantuan berbagai pihak telah ditempuh oleh warga Tambak Bayan. Dan sama gigihnya dengan warga, pihak hotel pun tak hendak menyerah begitu saja. Pemerintah yang seharusnya hadir pun tampak tidak serius menangani perkara ini. Padahal, Tambak Bayan memiliki status sebagai situs cagar budaya yang seharusnya dilindungi oleh negara.
Bantuan dari periset, seniman, komunitas dan mahasiswa kemudian hadir membentuk solidaritas bersama warga Tambak Bayan. Mereka hadir membersamai warga dengan kemampuan yang dimiliki. Mengusik dengan kegaduhan yang intens melalui seni dan kolaborasi. Mural-mural menyentil yang mewakili isi hati warga Tambak Bayan ditorehkan sepanjang gang, sudut, dan dinding-dinding Tambak Bayan. Mereka kemudian menyulap bangunan utama menjadi aula serbaguna tempat workshop kayu dan kawat warga, sekaligus ruang inkubator seni dan tempat diadakannya berbagai acara.
Lambat laun perkumpulan dan solidaritas tersebut resmi menamakan diri sebagai Institut Seni Tambak Bayan. Seperti namanya, gerakan ini diilhami layaknya kampus seni tempat belajar. Tempat anak-anak dan warga belajar seni. Tempat para anggotanya saling bertukar gagasan dan transfer pengetahuan serta keterampilan. dan tempat keduanya saling belajar bersama.
“Warga jadi belajar bagaimana caranya bikin protes tapi tidak keras”
ujar Lim Kim Hauw atau yang kerap disapa Cak Gepeng.
Cak Gepeng mengaku warga Tambak Bayan memiliki kekuatan lebih dengan hadirnya Institut Seni Tambak Bayan di tengah mereka. Seperti ada kekuatan yang tersalurkan dan menciptakan keyakinan bahwa warga Tambak Bayan tidak sendirian. Kepercayaan diri mereka pun bertumbuh dengan terciptanya aliansi yang mereka yakini akan dilihat oleh pihak yang hendak menggusur.
Institut Seni Tambak Bayan lahir secara organik karena merasa berumah di Tambak Bayan akhirnya melakukan apa yang mereka bisa, yakni dengan kerja-kerja kesenian. Pameran lampion yang mereka adakan tahun lalu misalnya, adalah kerja kesenian untuk membantu renovasi atap aula serbaguna. Tahun ini, mereka menggagas Festival Lampion yang berisikan aneka rangkaian acara. Barongsai, kuliner, pemutaran film, workshop lampion, dan ditutup konser musik menjadi rentetan acara festival yang berlangsung bersamaan dengan Tahun Baru Cina atau Imlek ini.
Mandat berkesempatan hadir pada gelaran Festival Lampion Tambak Bayan tahun 2023. Kami menyaksikan musisi dengan nafas perjuangan yang serupa dengan warga Tambak Bayan dan Institut Seni Tambak Bayan menyenandungkan lagu di aula serba guna. Ia adalah Deugalih dan Frau. Mereka secara bergantian bernyanyi dengan latar belakang lampion dan mesin pembuat kawat. Menyulap aula tambak bayan dengan pertunjukan magis dan hening.
Festival ini mewujud perayaan kolektif di tengah momentum yang ditunggu oleh selayaknya warga di kampung pecinan, Tahun Baru Cina. Mengawali harapan yang tumbuh tiap tahun. Merawat ingatan dan menjaga nyala harapan hidup. Melalui seni dalam festival lampion mengingatkan bahwa, eksistensi mereka pun perlu dirayakan dan mendapat perhatian. Mereka yang mendiami kampung dalam gang-gang kecil bernama: Tambak Bayan.
ditulis oleh: Listia Masruroh
gambar oleh: Dedy Andrianto