Mengenal Upaya Berkesadaran dan Arti Kata Cukup dari Tomboan dan Situs Patirtaan Ngawonggo
Suara seruling sayup-sayup terdengar dari balik rerimbunan bambu. Ada juga repetisi suara jahe dan sereh dipukul di atas bilah kayu. Logam beradu di tangan ibu-ibu. Dan asap membumbung dari dapur sederhana mereka.
Suasana itulah yang akan ditemui ketika mengunjungi Situs Patirtaan Ngawonggo. Situs yang jika dilihat dari ragam hiasnya bercorak era peralihan Kediri-Singosari. Area bersejarah di utara Kabupaten Malang yang sekaligus menyediakan sarana dengan mengusung konsep tradisional. Letaknya yang masih berada di kawasan pedesaan mendukung suasana asri dengan alam nan jauh dari artifisial. Sentuhan nilai tradisional yang sepenuhnya diterapkan menjadi daya tarik di tengah gebu akan modernisme.
Di tengah area rindang nan rimbun oleh tumbuhan kanopi dan bambu, terdapat bale-bale kecil yang dibangun berjarak satu sama lain. Menjadi tempat singgah sekaligus jembatan untuk mengenal Situs Patirtaan yang ditemukan oleh warga secara turun menurun tersebut. Situs yang terhitung sejak April 2017 menandai publikasi dan eksistensinya sebagai tinggalan bersejarah yang penting.

Mas Yasin berseruling merdu di tengah tempat menjamu tamu Situs Patirtaan Ngawonggo, Tomboan.

Sejak saat itu pula, warga di Dusun Nanasan, Desa Ngawonggo, Kec. Tajinan, Kab. Malang melihat desanya secara tak sama lagi. Desa Ngawonggo bukan sekedar tentang alam yang subur tempat setiap harinya mereka bercocok tanam dan tinggal. Lebih dari pada itu, ada nilai historis yang terkandung di dalamnya. Perasaan memiliki dan ingin melestarikan dengan cara apa pun yang dimiliki.
Upaya ekskavasi yang melibatkan akademisi serta lembaga yang berwenang telah dilakukan. Hasilnya berupa perlindungan, pencatatan, hingga pengarsipan. Namun, tidak berhenti sampai di situ saja, warga Desa Ngawonggo tidak berniat menjadikannya sebagai tinggalan yang tak hidup. Layaknya monumen yang hanya dikenang lalu dilupakan begitu saja. Sebuah upaya penghidupan pun mereka lakukan.
Pembuatan wedhang secara tradisional, yang menjadi asal nama Tomboan.
Pembuatan wedhang secara tradisional, yang menjadi asal nama Tomboan.
Dapur traditional yang masih menggunakan kayu bakar.
Dapur traditional yang masih menggunakan kayu bakar.
Sederhana, adalah kata utama yag muncul saat berkunjung di Tomboan.
Sederhana, adalah kata utama yag muncul saat berkunjung di Tomboan.
Tumbuh Bersama Tomboan
Tahun 2020 kemudian menandai awal berdirinya Tomboan. Sebuah sarana yang dibangun untuk menjamu tamu yang datang ke Situs Patirtaan Ngawonggo. Tujuannya sederhana saja, membuat tamu betah dan tidak terburu untuk pulang. Harapannya tamu yang sowan pun bisa mendapatkan informasi mengenai situs.
Konsepnya adalah balai-balai tradisional tempat orang bisa singgah, dilengkapi dengan suguhan dari wedang serta makanan dan jajanan tradisional. Tomboan memberikan pengalaman orang yang datang sebagai tamu. Mereka akan diberikan suguhan yang bisa diambil semaunya. Karena suguhan, maka tak perlu menanyakan harga. Sebab Tomboan bukanlah warung atau kedai. Dan orang yang datang bukanlah pelanggan.
Namun perlu diperhatikan juga adab selayaknya bertamu. Mematuhi peraturan sang empunya rumah. Peraturan yang dibuat untuk kebaikan bersama dan keberlanjutan lingkungan khususnya Situs Patirtaan Ngawonggo yang diperkirakan ada sejak era klasik atau antara abad 10-13 Masehi.
Tomboan adalah sarana yang dibangun untuk menjamu tamu. Berawal dari kolaborasi orang-orang yang peduli dan hendak menjaga situs serta ide-ide yang kaya akan khasanah budaya secara serius dan tidak asal-asalan. Implementasi nama dari tumbuhan yang memiliki pengucapan mirip dengan Tomboan. Tumbuhan ini juga yang menjadi cikal bakal bahan jamuan di Tomboan khususnya wedangan. Tomboan juga bermakna tombo yang artinya obat. Secara sederhana diartikan sebagai tombo ngelak  atau obat penghilang dahaga. Lebih luas lagi, tumbuhan yang diolah menjadi wedang mampu berkhasiat sebagai obat tradisional, misalnya obat pegal-pegal, flu, tenggorokan, dan saluran pernapasan. Dalam arti yang khusus, Situs Patirtaan Ngawonggo sendiri adalah obat bagi batin. Sarana mencapai aspek spiritual bagi mereka yang meyakini.
Tomboan sendiri adalah tempat orang di dalamnya bertumbuh menjadi individu dan kelompok yang sadar akan potensi diri dan lingkungannya, serta berupaya menjaga alam dan budayanya.
Berbusana tradisional Jawa, Mas Bagong ngeramba bahan-bahan yang akan dijadikan hidangan di Tomboan
Berbusana tradisional Jawa, Mas Bagong ngeramba bahan-bahan yang akan dijadikan hidangan di Tomboan
Hasil ngeramban berupa sayur-mayur dan bahan wedang.
Hasil ngeramban berupa sayur-mayur dan bahan wedang.
Mas Handoko bersenjatakan gumbeng untuk mengambil air dari Patirtaan.
Mas Handoko bersenjatakan gumbeng untuk mengambil air dari Patirtaan.
Membudayakan Wawasan Lokal
“Kami menggali literasi terkait bagaimana menata ruang, berpakaian secara budaya, pengolahan makanan dan minuman,” ujar Rahmad Yasin selaku pengelola Situs Patirtaan Ngawonggo.
Yasin bercerita bahwa segala yang ditempatkan di Tomboan adalah berdasar penggalian literasi akan budaya dari masyarakat sekitar yang diwariskan secara turun temurun. Semangat untuk lebih mengangkat kebudayaan lokal tersebut datang dari kebanggaan mereka akan budaya Jawa yang dimilikinya. Ia kemudian mengaplikasikannya pada aspek keseluruhan di Situs Patirtaan Ngawonggo.
Pada segi bangunan, kita akan melihat bale-bale yang sedikit berjarak dan dibangun terbuka menggunakan kayu khususnya bambu. Relief yang ada di candi-candi menjadi sumber percontohan arsitektur bangunan di Tomboan. Penataan ruang terinspirasi dari orang zaman dahulu yang membagi ruang ke dalam beberapa bagian. Hal ini pun diyakini lebih memberikan dampak berkelanjutan serta baik dari segi kesehatan.
Yasin berkata jika rumah orang zaman dahulu memiliki pakem tertentu dalam hal tata letak ruang. Misalnya pada penempatan kamar mandi dan dapur. Keduanya biasanya ditempatkan berjarak karena faktor kelembaban. Atau penataan ruang untuk menerima tamu dan beribadah yang terpisah. Seperti layaknya tata ruang di pura-pura yang ada di Bali.
Penggunaan bambu dan kayu juga dipilih dengan pertimbangan aspek risiko dan kebencanaan. Bahan ini lebih berkelanjutan dengan risiko bencana yang lebih minim. Faktor berlimpahnya kayu dan bambu di area Desa Ngawonggo kemudian turut mendukung upaya ini. Kedekatan dengan sumber bahan bangunan. Genting dan batu bata untuk menambah struktur lantai pun mereka dapatkan dari pengrajin lokal yang ada di Desa.
Suguhan atau jamuan yang disediakan di Tomboan pun tak lepas dari upaya membudayakan wawasan lokal. Budaya “ngramban” atau mencari bahan makanan dari lingkungan sekitar menjadi segelintir aktivitas yang akan ditemui di Tomboan. Faktor alam yang masih terjaga dengan lahan yang luas serta kaya akan air dan kualitas tanah yang terjaga, menjadikannya suaka akan berbagai varietas tumbuhan yang bisa dikelola menjadi aneka ragam masakan. Jamur, pakis, daun singkong, daun pepaya, selada air, semanggi, telang, sereh, besaran, cabai, tomat, dan sebagainya adalah bahan pangan yang bisa didapatkan sehari-hari di area situs. Bahan makanan ini selain lebih segar karena dipetik langsung, pun lebih organik.
Ada pola mendapatkan bahan makanan yang semakin memperjelas semangat kolektif di Situs Patirtaan Ngawonggo, yakni aktivitas barter antara petani dengan pengelola situs. Yasin mengaku kerap menukar pupuk organik dari sisa rempah wedang dan kompos sampah masakan serta daun dengan petani. Entah berupa cabai, rempah-rempah, atau bahan pangan lainnya yang dimiliki oleh petani. Sering kali juga mereka mendapatkannya secara cuma-cuma. Hal ini menegaskan semangat gotong royong dan memiliki warga di area Situs Patirtaan Ngawonggo.
Tak berhenti sampai di situ saja, pemilihan bahan makanan non hewani yang dilakukan oleh Tomboan mengacu pada wawasan lokal yang didapatkan dari pola konsumsi orang zaman dahulu. Yasin bercerita bahwa masyarakat sekitar secara luas pada zaman dahulu konsumsi daging hanya saat momen tertentu saja. Momen itu menandai hari besar atau hari khusus yang biasanya berupa tasyakuran, hajatan, atau perayaan hari besar agama. Menyajikan suguhan non hewani adalah upaya mengenal serta kembali ke awal.
Suguhan yang menjadi ikon dari Tomboan adalah aneka wedangnya terutama “Wedhang Tomboan”. Wedang di Tomboan terbuat dari aneka rempah, serta daun dan bunga yang di dapatkan dari sekitar. Tamu akan melihat proses pembuatan wedang di salah satu balainya yang terbuka.
Air yang digunakan untuk minum dan memasak didapatkan dari salah satu mata air yang dipancurkan oleh Situs Patirtaan Ngawonggo. Ada tradisi mengambil air menggunakan bambu yang coba dilestarikan oleh Tomboan dan pengelola situs. Bambu besar dengan tiga ruas dilubangi dan menjadi wadah untuk air. Bambu itu dinamai “Gumbeng”. Tamu pun bisa melihat atau mencoba aktivitas memikul gumbeng dan mengambil air di Patirtaan.
Ragam unsur tradisional lainnya kemudian ditemui di berbagai simbol, peralatan, metode, hingga pakaian. Penggunaan bahasa serta aksara jawa di area situs. Hingga perangkat permainan tradisional seperti dakon. Juga adanya lesung dan alat penumbuk dari batu yang dilubangi. Dan alat musik tradisional yang sering dimainkan oleh Yasin sendiri. Semuanya menegaskan upaya pengelola Situs Patirtaan Ngawonggo untuk melestarikan budaya melalui wawasan lokal dan diwujudkan dalam Tomboan.
Sumber air yang disalurkan ke kolam untuk penyucian diri.

Salah satu sumber air dari Patirtaan yang disalurkan ke kolam yang dapat digunakan para tamu.

Upaya Berkesadaran dan Arti Kata Cukup
Tomboan dan orang-orang yang berada di dalamnya secara sadar mengetahui apa yang dilakukannya. Melestarikan situs, budaya, serta lingkungan dengan segenap cara yang mereka yakini mampu untuk dilakukan. Mengupayakan melalui hal-hal yang ada di sekitar dan hal yang dimiliki oleh masing-masing individu. Secara tak langsung, adalah menggali potensi yang dimiliki oleh desa sekaligus potensi yang dimiliki oleh tiap individu. Upaya sadar dan mengenal diri sendiri dan lingkungannya.
Di tengah kemudahan mendapatkan berbagai bahan makanan di pasar, termasuk di dalamnya bahan makanan hewani, mereka memilih apa yang mampu didapatkannya dari sekitar. Sekaligus upaya mengenal lingkungan dan membaca tanda-tanda. Berkurang atau bertambahnya suatu tanaman bisa menjadi pertanda akan respon alam terhadap sesuatu. Membaca dan mengenalinya bisa menambah kepekaan akan diri dan sekitar. Meniadakan bahan pangan hewani bagi mereka adalah wujud menumbuhkan kesederhanaan. Meski dewasa ini, bahan makanan hewani lebih mudah didapatkan dari pada dahulu. Semuanya serba ada, namun terkadang menjauhkan orang dari laku kesadaran yang dekat dengan kesederhanaan.
Kesadaran untuk mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan kemudian terwujud dari upayanya untuk mengurangi sampah plastik. Mereka dengan tegas melarang tamu membawa makanan dan minuman dari luar dan berkemasan plastik. Dalam aktivitasnya pun mereka menggunakan bahan non plastik.
Lebih jauh lagi, mereka berkomitmen mengelola sampah domestik yang dihasilkannya supaya memiliki nilai guna. Rempah akan diolah menjadi eco-enzym yang bisa dimanfaatkan oleh petani sekitar. Sampah organik dari dapur dan lingkungan sekitar dijadikannya kompos. Pengunjung bisa melihat pengelolaan sampah secara sederhana di Tomboan ini.
Proses memasak menggunakan tungku kayu yang menjadi warisan turun temurun dari orang jaman dahulu juga terbukti lebih berkelanjutan dari pada penggunaan kompor gas atau induksi. Rendah emisi sekaligus menciptakan kemandirian energi sebab kayu yang melimpah di lingkungannya, bukan karena ketertinggalan pola penggunaan energi layaknya di kota.
Penggunaan unsur tradisional dan kembali sesuai laku orang jaman dahulu datang dari kesadaran akan yang sederhana. Jauh dari modernitas adalah pilihan hidup yang mereka yakini dan jalankan. Sebuah perlawanan akan standar kehidupan berkecukupan yang dibuat oleh modernitas dan masyarakat urban. Tomboan memiliki standar kehidupan cukup yang membumi.
Dalam suatu kejadian, pengelola Tomboan akhirnya memutuskan berpindah akun instagram dari @tomboan_ yang selama ini menjadi tempat publikasinya ke @situspatirtaanngawonggo. Hal tersebut didasari oleh persepsi orang yang menafsirkan Tomboan sebagai warung atau kedai alih-alih situs itu sendiri. Sehingga, akun yang sekarang diharap mampu merepresentasikan dengan sepenuhnya sesuai tujuan awal, yakni pelestarian akan situs.
Perpindahan kanal media dengan pengikut belasan ribu ke kanal yang baru dibentuknya menegaskan konsistensi pengelola akan tujuan yang dilakoninya. Menjadi dikenal banyak orang namun bukan dengan tujuan awalnya tak menjadi pencapaian bagi mereka. Dikenal sebagai warung atau kedai pada akhirnya akan mendatangkan orang yang menanggap diri sebagai pelanggan, alih-alih sebagai tamu yang yang sedang berkunjung. Sebagai tamu inilah menjadikannya tak perlu membayar suguhan atau pun berbasa-basi menanyakan harga. Tamu tetap mampu berpatisipasi untuk keberlanjutan Tomboan melalui kotak asih yang disediakan.
Tomboan sudah berjalan terhitung tiga tahun hingga sekarang. Rasa yakin bahwa mereka akan selalu dicukupi membuat mereka bertahan hingga kini. Kata “cukup” tersebut mengacu pada rasa, bukan pada materi. Kekayaan rasa yang didapat ketika melakukan sesuai nilai yang diyakini, yakni melestarikan kebudayaan dengan segenap yang dimiliki. Ada perasaan yang jauh lebih besar dari pada materi, yakni persaudaraan yang terjalin usai tamu datang. Mereka juga merasa bersyukur karena dicukupi oleh alam melalui hasil tanah, udara, dan air yang berlimpah. Hal itu yang menjadi sumber penghidupan dan pengelolaan yang dihasilkan di Tomboan.
Kata cukup bagi mereka adalah ketika mereka tak kekurangan apa pun, namun selalu diberikan keberkahan alam tiada henti. Tak perlu mencari sumber pangan dan penghidupan secara jauh. Keyakinan bahwa hidup harus senantiasa bergerak selaras dengan nilai yang diyakini menjadi acuan bagi pengelola Tomboan.
“Yang penting umek (bergerak, red), jangan sampai nganggur (tak melakukan apa-apa, red),” ungkap Rahmad Yasin.
Kesederhanaan yang ditumbuhkan di Tomboan pada akhirnya bukan lantaran keterbatasan, namun sebab mereka memahami kesederhanaan itulah yang membuatnya merasa cukup. Kata cukup yang membuat mereka mampu melihat  ke asal, ketimbang mengejar laju modernitas yang jauh dari diri dan potensi desa, dan berpotensi memberikan kecukupan yang artifisial.
Sumber: wawancara dengan Rahmad Yasin, Pengelola Situs Patirtaan Ngawonggo tahun 2023
Ditulis oleh: Listia Masruroh
Gambar oleh: Dedy Andrianto