Rafi bercerita akan ingatannya tentang pawon atau dapur yang ia temui selama perjalanan keliling Indonesia. Ia mengaku mendapat kesempatan untuk masuk ke pawon-pawon yang ada di desa selama perjalanannya. Ia kemudian melihat bahwa pawon bukan sekedar ruang tempat memasak, namun di dalamnya kehidupan tercipta.
Rafi menyadari bahwa banyak pengetahuan didapatkan dari ruang bernama pawon ini, mulai dari kebudayaan, ketahanan pangan, arsitektur, sains, hingga spiritualitas. Pawon juga menjelma sebagai ruang olahan yang teramat vital bagi keluarga secara khusus, dan bagi kehidupan secara lebih luas. Pengalamannya dalam eksplorasi kebudayaan Indonesia itu kemudian menginspirasinya untuk membangun omah jangan diam terus, sebuah ruang kolektif yang digunakan oleh Rafi, dkk sebagai ruang singgah, belajar, dan instalasi hasil belajarnya selama perjalanan keliling Indonesia, meliputi kebudayaan, arsitektur, hingga kuliner.
Dapur-dapur tradisional lazim ditemui di desa-desa. Biasanya menempati ruang bagian belakang dengan ukuran yang cukup luas. Sebab kegiatan memasak akan diisi oleh beberapa orang sekaligus, serta fungsi dapur yang juga merangkap ruang penyimpanan bahan pangan.
Di desa orang-orang mengumpulkan bahan pangan di pawon untuk ketersediaan pasokan pangan selama beberapa waktu ke depan. Mengolahnya dengan teknologi sederhana semacam pengeringan agar bahan pangan bertahan lebih lama. Upaya menciptakan ketahanan pangan dengan tradisional. Maka, kita akan menemui berbagai rempah, biji-bijian, hingga sayuran yang dikeringkan atau yang bisa melalui masa simpan lama di pawon.
Petani juga menyimpan biji-bijian di dekat tungku api bagian atas. Mereka biasa menggantungkan bawang, jagung, atau padi untuk ketersediaan benih yang akan ditanam di masa menanam selanjutnya. Pawon kemudian tak sekedar sebagai ruang mengolah makanan, namun juga laboratorium pangan. Pengetahuan akan ketahanan pangan tersimpan dalam pawon.
Dapur adalah ruang vitalnya rumah. Dalam kehidupan lazimnya seseorang makan dua hingga tiga kali dalam sehari. Artinya, minimal dua kali kegiatan di dapur tercipta setiap harinya. Proses penciptaan makanan sebagai sumber energi itu kemudian menjelma pengetahuan akan kekayaan olahan bahan pangan. Menariknya, olahan bahan pangan ini umumnya diwariskan melalui ingatan. Bahkan, setiap dapur bisa memiliki karakteristik dan rasa yang berbeda-beda, meski dalam satu jenis olahan dan budaya yang sama.
Dalam dapur tradisional atau pawon ini pula kita bisa melihat upaya seseorang untuk terhubung dengan lingkungan sekitar dan dirinya sendiri. Proses penciptaan olahan makanan yang menggali memori akan resep dan pengetahuan warisan, yang merupakan upaya terhubung ke dalam diri dan asal-usulnya. Maka tak jarang, Usaha mengolah makanan bisa menjadi sangat personal bagi seseorang karena ingatannya akan tempat asal, tempat tinggal, masa kecil, orang tua, hingga leluhur.
Upaya terhubung dengan sekitarnya ditunjukkan dengan penyediaan bahan bakar dari alam berupa kayu dan ranting. Menyadari bahwa kebutuhan dasarnya disediakan oleh alam, bahkan dalam pemrosesannya pula. Menciptakan kesadaran untuk menjaga sebab ketergantungannya akan alam. Bahan bakar alam ini pula terbukti lebih rendah emisi dibandingkan dengan bahan bakar fosil yang kini diinternalisasi di setiap dapur.
Pawon Sebagai Alat dan Ruang Kolektif
Pawon kini tidak hanya menjadi ruang pengolahan bahan pangan semata, kehadirannya dimaksudkan untuk agenda tertentu, misalnya ruang pertemuan kolektif, diskusi, edukasi, hingga alat perlawanan.
Di tangan orang-orang gastronomi pawon adalah salah satu arena belajar dan menyusun pengetahuan. Di tangan orang-orang pelestari budaya, pawon dijadikan alat penarik pengunjung dan edukasi budaya, contohnya yang dilakukan oleh Tomboan, artikel lengkapnya dapat dibaca di sini.
Di tangan anak-anak muda seperti Rafi dkk, pawon menjadi ruang kolektif anak-anak muda bertemu dan berdiskusi, serta ruang baginya untuk mengadaptasi nilai, resep, arsitektur hasil belajarnya selama berkeliling Indonesia. Ruang itu bernama Omah Jangan Diam Terus.
Lima tahun setelah membangun Omah Jangan Diam Terus, Rafi kemudian berkesempatan menghidupkan ruang di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah dengan mengadopsi konsep pawon. Pawon dibuat sengaja terbuka sehingga siapa saja bisa berkunjung dan melihat proses alamiah yang terjadi di pawon.
Rafi membuat konsep pawon yang dibangunnya sebagai tempat orang bertukar gagasan dari pertemuan. Ia meyakini jika pertukaran pengetahuan akan kebudayaan mampu didapatkan dari Pawon. Material dan arsitektur dari pawon yang ia inisiasi dibuat natural dan mengadaptasi nilai-nilai lokal. Sama dengan Omah Jangan Diam Terus yang terinspirasi dari budaya di desa-desa, pawon yang dihidupkan di Jatinom bersumber dari kekayaan sekitar yang terdapat di Klaten, Jawa Tengah.
Tentang proses menghidupkan ruang di Jatinom, Rafi bercerita bahwa awalnya sudut yang kini diisi oleh bar, tungku, dan rak-rak tersebut awalnya berantakan. Ia rekonstruksi ulang susunannya dengan tetap mempertahankan struktur atap. Material bangunan di dapat dari memanfaatkan bahan yang ada di sekitar atau upcycling. Ia juga berharap para pejalan atau backpacker bisa singgah di ruangnya, sehingga pertukaran gagasan dan kegiatan dapat terjadi. Dari proses itu mengaku belajar dan mengamati sekitar, bagian dari proses mengalami sekitar.
Ruang-ruang berwujud pawon ini kemudian banyak ditemui di banyak tempat. Ia menjelma ruang tempat berbagi pengetahuan, ruang kegiatan seperti workshop-workshop sederhana. Menegaskan kebutuhan akan ruang bersama yang semakin dicari. Orang tak hanya sekedar mencari makanan atau minuman, namun lebih jauh dari pada itu, orang mencari pengalaman. Pengalaman itu pun beragam, ada yang berupa pengalaman melihat atau merasakan proses mengolah makanannya, proses mengetahui bahan dari makanan yang kemudian dikonsumsinya, atau pengalaman berbagi ruang dengan pengunjung lain serta pemilik ruang. Atau mungkin, perasaan kerinduan akan makanan atau dapur tradisional yang pernah dialaminya.
Pawon tradisional juga mewujud sebagai alat perlawanan kemapanan dan standarisasi gaya hidup yang dipaksakan. Kompor gas dan induksi dijadikan standar kesejahteraan hidup masa kini, dan menganggap pawon tradisional sebagai indikator keterbelakangan ekonomi. Padahal, dari pawon tradisional orang mampu menciptakan kemandirian bahan bakar, selaras dengan upaya menjaga sumber bahan bakarnya. Penyeragaman ini kemudian mempertanyakan kembali, sudahkah pemangku kebijakan benar-benar memahami kehidupan di desa?
Ruang-ruang yang dibangun dari dasar pengetahuan yang didapatkan dari mengalami seperti yang dilakukan oleh Rafi dan pegiat pawon tradisional lainnya lah yang kemudian memungkinkan untuk terbebas dari asumsi. Mengadopsi jalan dan nilai tradisional karena itulah pilihan yang paling sesuai dan dibutuhkan.
Ditulis dan gambar oleh Listia Masruroh.
--
Ikuti @mandat.id untuk cerita-cerita terbaru.
Subscribe kanal YouTube Oleh Mandat untuk cerita-cerita dalam bentuk film dokumenter.